Artikel lain:
Kesuburan Fisik, Kimia, Biologi
Bahan organik tanah (SOM) memainkan peran penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman dengan menyediakan nutrisi yang tersedia (Magdoff dan Weil 2004), meningkatkan kapasitas pertukaran kation (Kaiser, Ellerbrock, dan Gerke 2008), dan, pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Mathers dan Xu 2003; Russell dkk. 2005). Pengembalian sisa tanaman ke tanah menjadi hal yang penting dalam menjaga kestabilan tingkat bahan organik tanah terutama di bawah praktik pengelolaan pertanian organik (Marriott dan Wander 2006; Dalzell et al . 2013; Chen et al. 2018). Perubahan praktik pengelolaan tanah untuk meningkatkan penyerapan dan penyimpanan karbon tanah merupakan bagian dari upaya global untuk mengatasi perubahan iklim (Stringer et al. 2012; Cheng et al. 2016; Takakai et al. 2019). Sistem pertanian organik merupakan salah satu alternatif dari pertanian konvensional untuk meningkatkan kualitas tanah (Mäder et al. 2002; Marriott dan Wander 2006; Fliessbach dkk. 2007) dan sekuestrasi karbon (Leifeld dan Fuhrer 2010). Sekuestrasi karbon merupakan proses penangkapan dan penyimpanan karbon sehingga mengurangi jumlah karbon dioksida di atmosfer, sehingga membantu dalam mengatasi dan memitigasi pemanasan global. Metode pertanian alternatif, yakni pertanian organik bertujuan untuk meminimalkan dampak lingkungan dari produksi pertanian dengan cara menghindari penggunaan pupuk sintetis (buatan), pestisida kimia, atau input yang dimodifikasi secara genetik (Seufert, Ramankutty, dan Foley 2012; MAFF 2017), sekaligus meningkatkan pendapatan petani (Hokazono, Hayashi, dan Sato 2009).
Hasil panen dalam pertanian organik umumnya lebih rendah daripada pertanian konvensional, meskipun penelitian menunjukkan dengan adanya pengelolaan yang baik dan tepat, produksi pertanian organik dapat hampir menyamai produksi pertanian konvensional (Hokazono, Hayashi, dan Sato 2009; Seufert, Ramankutty, dan Foley 2012). Sejak tahun 1970-an, konsumsi beras per kapita di Jepang telah menurun, dan Jepang mandiri dalam hal produksi beras (Coyle 1981; Cheng et al. 2018); dengan demikian, sektor pertanian telah difokuskan pada peningkatan kualitas daripada kuantitas (Efferson 1985). Berdasarkan penelitian, pertanian organik ternyata tidak hanya mampu menjaga kualitas lingkungan, tetapi kualitas beras juga dapat ditingkatkan (Surekha et al. 2010; Cheng et al. 2015).
Penambahan bahan organik ke dalam tanah, misalnya seperti residu tanaman, kompos, dan sebagainya akan dapat mengubah proses mikroba dan mempengaruhi mineralisasi karbon (Devêvre dan Horwáth 2000). Sehingga, laju mineralisasi karbon dapat digunakan untuk memantau pengaruh adanya penambahan bahan organik dalam waktu lama pada sistem pertanian organik (Hossain et al. 2017). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa karbon tanah meningkat dengan aplikasi bahan organik (Yokozawa et al. 2010; Iwasaki , Endo, dan Hatano 2017). Selain itu, meta-analisis oleh Gattinger dkk. (2012) menemukan bahwa cadangan dan konsentrasi karbon tanah secara signifikan lebih tinggi di bawah praktik pertanian organik daripada konvensional. Namun, data yang diolah oleh Gattinger dkk. (2012) adalah dari lahan kering, sehingga kurang merepresentasikan kondisi cadangan dan konsentrasi karbon pada lahan sawah yang memiliki karakteristik selalu tergenang. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut tentang pengaruh sistem pertanian padi organik terhadap karbon organik tanah dan cadangan karbon tanah pada lahan tergenang sangat diperlukan, utamanya pada lapisan atas (topsoil) dengan kedalaman <20 cm, mengingat pada kedalaman ini menyimpan lebih dari 50% cadangan karbon organik tanah (Jobbágy dan Jackson 2000). Menurut Leifeld dkk. (2013), perbandingan antara pertanian organik dan konvensional harus mempertimbangkan siklus C dan N yang berkontribusi pada penyerapan C dan emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut yang mempertimbangkan kemampuan penyerapan C dalam jangka panjang dari tanah, sebagai bagian dari siklus alam.