Artikel lain:
Sejak saya awal kuliah, dosen saya mengajari pentingnya membaca buku dan jurnal terbaru. Disaat itu, ada sebuah kalimat yang sangat khas yang beredar di kalangan mahasiswa, “Jangan gunakan pustaka yang lebih dari 10 tahun”. Dan sampai saat ini saya menjadi dosen, kalimat serupa seringkali saya dengar dari kolega dosen yang lain. Bahkan kadang menyampaikan sindiran dengan kalimat “Pustaka koq tahun segini, saya aja belum lahir”, disaat melihat daftar pustaka yang ditulis tahun 1944.
Apapun itu, mari kita asumsikan bahwa itu merupakan upaya motivasi dosen agar mahasiswa dapat mencari sumber pengetahuan terbaru, melalui membaca jurnal atau buku. Meskipun juga harus disadari, bahwa ada dosen yang berkata demikian tetapi jarang baca jurnal atau buku, lebih sibuk urusan rutinitas. Salah satunya bisa dilihat dari materi perkuliahannya yang tidak berubah bertahun-tahun yang lalu. Uuups…..
Sampai pada suatu hari, saat berdiskusi dengan rekan peneliti lain terkait penulisan sebuah naskah jurnal, salah seorang peneliti dari Jerman menyampaikan bahwa penggunaan referensi yang lama merupakan hal yang diperbolehkan. Untuk memperkuat argumennya, beliau mengirimkan tiga artikel mengenai bypass citation. Singkatnya, rekan peneliti dari Jerman tersebut menyampaikan bahwa “ketika Anda memiliki dua jurnal atau buku yang menyatakan hal sama, maka referensi yang lebih lama lebih baik. Referensi yang terbaru (bypass citation) hanya mengkonfirmasi, jadi referensi terbaru malah tidak menunjukkan suatu hal yang baru.”
Berikut adalah tiga artikel yang dishare oleh rekan peneliti saya terkait bypass citation:
Baveye, P. C. (2021). Bypass and hyperbole in soil research: Worrisome practices critically reviewed through examples. European Journal of Soil Science, 72(1), 1-20.
Baveye, P. C. (2021). Bypass and hyperbole in soil research: A personal view on plausible causes and possible remedies. European Journal of Soil Science, 72(1), 21-28.
Portell, X., Sauzet, O., Balseiro‐Romero, M., Benard, P., Cardinael, R., Couradeau, E., ... & Vidal, A. (2021). Bypass and hyperbole in soil science: A perspective from the next generation of soil scientists. European Journal of Soil Science, 72(1), 31-34.
Baveye pada tulisan yang pertama menuliskan “Some PhD advisors, I have been told, are instructing their advisees not to look at literature that is more than 10 or even 5 years old, and in some cases, undergraduate students writing reports for courses they take are unfortunately also given the same recommendation”. Sebuah hal yang ternyata sama seperti yang dilakukan oleh dosen di Indonesia.
Portell (2021) menilai bahwa bypass citation atau gampangnya disebut sebagai upaya menghindari atau mengabaikan literatur yang lebih lama disebabkan adanya budaya fast science dan pengukuran prestasi peneliti melalui jumlah publikasi dan citation metrics. Peneliti akan mencoba menulis secara cepat, tanpa memiliki perhatian lebih pada literatur yang digunakan, sehingga dimungkinkan mengabaikan sumber aslinya.
Bisa jadi, kondisi ini diperparah dengan paksaan dari pembimbing skripsi, tesis, editor jurnal, atau peneliti lain bahwa buku atau jurnal yang lebih dari 10 tahun, tidak layak untuk digunakan.
Dari diskusi inilah, saya menyadari bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tepat dan sreg di hati saya. Sejak pertama saya mendengar bahwa kita sebaiknya menghindari referensi yang tua, maka di benak saya ada pertanyaan, “Kalau penulis hanya menggunakan jurnal atau buku yang kurang dari 10 tahun, maka jurnal atau buku yang lebih dari 10 tahun tidak akan ada yang membaca lagi donk”. Ada juga pertanyaan dalam hati, “Kalau begitu nanti riwayat dan sumber ilmu hanya terbatas 10 tahun ke belakang donk, kita tidak bisa mensitasi buku yang penting hanya karena buku itu tua”.
Permasalahan bypass citation ini juga lebih sreg, karena saya juga mengalami kendala ketika S2, dimana buku yang saya jadikan salah satu acuan penting adalah buku yang terbit pada tahun 1978, buku yang berjudul Rice : Soil, Water, Land, tulisan dari Frans R. Moormann and Nico van Breemen, terbitan International Rice Research Institute, Los Baños, Philippines. Naskah referensi lain yang penting adalah dua tulisan dari Rattan Lal yang terbit tahun 1979, dan empat tulisan F.N. Ponnamperuma yang terbit pada tahun 1972-1994. Saat itu saya khawatir apabila dosen pembimbing saya meminta saya mengganti beberapa pustaka tersebut. Meskipun ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti, karena daftar pustaka saya sama sekali tidak dipermasalahkan. Saat itu saya tidak bertanya mengapa saya boleh menggunakan pustaka lama, tetapi saat ini saya memahami bahwa dosen pembimbing saya menyadari bahwa pustaka-pustaka tersebut belum dapat tergantikan oleh pustaka terbaru, kaitannya pada bidang penelitian saya.
Jadi, apakah Anda boleh menggunakan referensi lama? Tentu boleh. Tetapi pastikan bahwa informasi tersebut merupakan informasi penting, dan referensi terbaru merupakan sebuah konfirmasi ulang. Misalkan apabila kita ingin mensitasi syarat unsur hara agar disebut sebagai unsur hara esensial, maka tentu kita harus mengacu pada jurnal Arnon dan Stout yang diterbitkan pada tahun 1939. Kita harus sadari bahwa sumber aslinya adalah dari tulisan Arnon dan Stout yang terbit lebih dari 80 tahun lalu, bukan dari buku yang baru kemarin muncul dan menjelaskan mengenai syarat unsur hara esensial.
Secara logika, apabila pustaka hanya dibatasi 10 tahun terakhir, maka jurnal lama tidak akan tersitasi oleh peneliti lain. Nyatanya, sangat banyak jurnal lama (lebih dari 10 tahun atau 20 tahun) yang sampai saat ini masih disitasi oleh penulis. Termasuk juga oleh jurnal ilmiah bereputasi . Anda bisa membuktikan melalui Google Scholar, silakan cari saja jurnal lama yang ditulis oleh salah seorang author. Anda bisa melihat berapa banyak jurnal yang telah mensitasi tulisan tersebut akhir-akhir ini.
Semoga tulisan ini dapat memberikan pemahaman mengenai pentingnya literatur yang lama, dan bagaimana menangani literatur lama dan baru.